Agam berjalan
dengan santai menuju rumahnya. Melewati gang teduh yang sempit. matanya
memancarkan kerinduan yang amat sangat. Bagai kura - kura yang merindukan
cangkangnya. Agam terkagum melihat beberapa rumah dikampungnya telah
sedikit-banyak berubah. Akankah rumahku berubah juga? tanyanya pada
ditri sendiri. Namun, pandangan Agam teralihkan ketika lewat didepannya gerombolan anak kecil yang
tengah bermain. Dengan jubah dan sebatang kayu sebagai pedangnya. Agam berhenti
sejenak dan tertawa melihat tingkah anak - anak itu. Ia tersenyum begitu
menyadari, dirinya sama seperti mereka dahulu. Ah, tidak. Pikir Agam.
Agam bukanlah
anak kecil yang baik dan patuh. Ia anak yang nakal. Ia sungguh masih ingat
jelas..
"AGAM!
Kesini kamu, heh!" Teriak Bu Agus, ibunya Agam dengan sebatang sapu yang
diacungkan ditangannya.
Agam tak
menghiraukan hal itu. Ia terus berlari menjauhi ibunya yang berdiri di depan teras rumah dan terus
teriak. Agam kecil berlari secepatnya. Nafas Bu Agus mengecil dan ia pun
menyerah saat Agam menghilang dibalik tikungan.
"Kenapa,
Bu? Agam bikin ulah lagi, ya?" Tanya Bu Narsih, tetangganya yang sedang
serius menjemur pakaian. Namun, pandangan dan pendengarannya tak pernah luput
dari kejadian disekitarnya. Terutama Bu Agus. Menurutnya, buat bahan gosipan.
Bu Agus
melirik tak enak lalu tersenyum lembut.
"Ngga.
itu tadi, Agam lupa menyisir rambutnya sesudah keramas..." Bu Agus kembali
melirik Bu Narsih yang angguk - angguk, namun, ekspresinya sangat menyebalkan.
Tak mau berlama - lama dan takut keceplosan bicara, Bu Agus segera pamit masuk
kerumahnya.
"Heleh..,
padahal udah ketahuan ulahnya," Gumam Bu Narsih dengan sedikit mencibir.
Agam berlari
menuju teman - temannya yang menunggunya dipos ronda.
"Gam,
cepet, sini! Gimana? Dapet ga?" Tanya seorang anak lelaki yang usianya 2
tahun lebih tua. Ia mendekati Agam diikuti dua orang lainnya.
"Dapet
doong.." Jawabnya bangga dan tersenyum. Ia mengeluarkan uang lima ribuan
dan memamerkannya didepan muka ketiga temannya.
"sekarang
kita mau ngapain nih?" tanya seorang teman Agam yang berkaos merah.
"Kita...
kita senang - senang doong.." Ujar Agam mengatakan hal yang biasa
diucapkan ayahnya saat berkumpul dengan temnnya.
"AYOO...
"
Keempat bocah
itu pergi menuju tempat mereka biasa bermain.
Agam sampai
dirumahnya. Baru saja ia masuk, ia sudah dikagetkan dengan suara teriakan
ibunya. Agam sudah tahu. Pasti ayahnya pulang marah - marah lagi. Biasanya
karena dirumah tak ada makanan, atau ayahnya kehabisan uang untuk berjudi.
Agam sudah
tahu ia harus bagaimana. Seperti kata ibunya...
"Jika
ayah datang, segeralah masuk kekamar. Kunci pintunya, dan jangan
mendengarkan,".
Hanya itulah
satu - satunya kalimat yang Agam patuhi.
Agam hendak
masuk kekamar. Namun, langkahnya tersekat ketika ia mendengar ayahnya teriak.
"Mana
uang yang kuberi kemarin, hah?!"
"Uang?"
Pikir Agam. Ia berjalan mendekati dapur dan memasang telinganya dengan rapat.
"Susah
payah aku menyisakannya untukmu! Sekarang, makanan tak ada duitpun ludes!"
teriak ayahnya lagi.
Tiba - tiba,
Agam teringat denngan uang yang diambilnya pagi tadi.
"Ibu akan
bilang dan ayah aku akan dipukul ayah!" Ujar Agam dalam hati. Sekarang ia
cemas dan panik. Agam memutar otaknya dan melihat keluar rumah. Sandal. Ah!
Saat itu, Agam
berniat kabur dari rumah dan tak akan pulang hingga esok pagi.
Tapi, ketika
ia hendak keluar, "Uangnya hilang", terdengar suara ibunya menjawab.
Agam tertegun dan menoleh tak percaya kearah dapur.
"APAA?"
"Uangnya
hilang" Ibunya kembali mengulang jawabannya.
"Pembohong!"
Waktu terasa
membeku.
Agam terbaring
lemas dikasur. Terdengar suara rintihan ibunya dari kamar sebelah, yang terus -
terusan mengusik kepala Agam. Itu adalah kali pertamanya melihat ibunya begitu
tersiksa. Ternyata selama ini, tonjokan, pukulan, dan tamparan, ayahnyalah yang
membuat bekas memar dibadan ibunya.
Agam merasa..
Entahlah. Antara benci dan bingung terhadap dirinya dan ayahnya. Tangan Agam
terkepal dengan kuatnya hingga ia terlelap.
Pagi itu
seperti biasa, Bu Agus bangun pagi - pagi untuk merapihkan rumah dan mencuci
baju. Namun ada satu yang bu Agus herankan. Mana Agam?
Biasanya
setiap pagi Agam selalu berisik meminta makan. Tapi kali ini, Bu Agus sama
sekali tak mendengar suaranya. Atau langkah kakinya sekalipun.
"Agaam..?
Gam..?" Panggil Bu Agus. Bu Agus berdiri sambil menengok kekamar dan
ruangan lainnya, barangkali Agus ada disitu. Namun, yang dicari tak juga
terlihat.
"..Kemana
anak itu..?" Gumam Bu Agus. Apa main, ya? Tanyanya dalam hati.
"Agaam!!
Tendang yang jauh! Cepaat!" Ujar seorang anak hitam manis berbadan
jangkung.
"Okee!"
Agam menendang bola plastik didepannya dengan keras, tapi seorang anak berbadan
gembul merebut bolanya dan menggiringnya menuju gawang lawan. Gawang Agam.
"Alif,
jaga doong! back..! Kamu kan jadi back!" Teriak Agam pada
seorang temannya yang berkacamata, Alif, sambil terus waspada.
"Kalo
kipernya cebol, sih, masuknya gampang!" Cemooh Anak gembul yang menggiring
bola itu. Memang, diantara semua pemain, Agam yang paling kecil. 6 tahun gitu
loh..
Dengan sekuat
tenaga, anak gembul itu menendang bola hingga melayang tinggi. Melewati gawang,
dan...
"AAh!!
Jangan kesana..!!" Teriak Agam geram. Kedua tangannya menjenggut rambutnya
keras - keras.
"Ahh!
Itu..! Masuk ke pekarangan Pak Salim, gimana dong..?!" Ujar Alif panik.
"Yang
nendang tadi siapa?" Tanya Agam.
"Si
Halim!" Jawab Alif cepat.
Agam, Alif,
dan dua orang lainnya celingak - celinguk melihat sekekliling lapang.
"Yang
lain pada kemana?" Tanya Agam pada seorang anak laki - laki berkulit
putih, Raka, ketika menyadari hanya ada empat orang dilapang. Yang ditanya
angkat bahu, "Ngga tahu.." jawab Raka bingung.
"Kita
pergi aja sekarang! Mumpung Pak Salimnya belum nyadar. Ayo!" ajak Aris,
yang sejak tadi jadi pemain cadangan dan ngga kebagian main sama sekali.
"Ayoo!"
Jawab Raka dan Alif setuju.
"Jangan!"
Ujar Agam tiba - tiba, menyekat langkah teman - temannya.
"Lho,
kenapa Gam?" Tanya Raka bingung. Dari tingkah Agam yang menyebalkan,
harusnya Agamlah yang paling setuju untuk melarikan diri.
"Kita..
minta maaf dulu dan ambil bolanya.. baru, kita pergi..," Jawab Agam ragu.
Ia sendiri heran, mengapa ia berkata seperti itu.
"Hah?
Cari mati?" Tanya Aris kaget.
"Kamu
pasti bercanda. Yuk ah, Ris, kita cabut!" Ajak Raka pada Aris dan dijawab
anggukan mantap.
Sementara Alif
masih berdiam memandang Agam.
"Kalo
kamu mau pergi.., silahkan aja. Aku... tetap akan minta maaf..," Jawab
Agam sambil tertunduk. Ia harus melakukan ini. Harus. Ini adalah tantangan
baginya untuk bisa berubah.
Agam terdiam
menunggu Alif. Tapi, Alif tak kunjung
menjawab. Memang susah kalau mengajak orang lain untuk berbuat benar. Ya..,
Alif salah satu anak yang juga bandel seperti Agam, tapi umurnya tiga tahun
lebih tua dari Agam.
Agam menghela
nafasnya.
"Aku..
mau kerumah Pak Salim dulu," Agam berbalik dan berjalan pelan, tapi
seseorang menahan bahunya.
Agam menoleh
dan kemudian senyum mengembang diwajahnya.
"Berani
berbuat, berani bertanggung jawab". Alif tersenyum simpul, seraya
mengulang kalimat yang pernah diucapkan
guru SD nya.
"Assalamu'alaikum..
Pak Saaliim.." Alif mengetuk pintu rumah Pak Salim sebanyak tiga kali. Dan
mengulanginya.
"..Ngga ada
ya?" Tanya Agam sambil menengadah, memandang Alif.
"Iya..
kayaknya ngga ada," jawab Alif. Keduanya menghela nafas kecewa.
Tiba - tiba
terdengar kenop pintu dibuka, membuat keduanya terperanjat.
"Apa?"
Tanya Pak Salim dengan suaranya yang berat.
Alif memandang
Agam ragu. Agam membalas pandangan Alif dan mengangguk pelan.
"Ada
Apa?" Tanya Pak Salim lagi, menyadarkan Alif dan Agam.
"K-Kita
ngga sengaja.. waktu main bola.. terus nendang.. bolanya..."
"masuk
pekarangan saya?!"
"I-iya
pak.." Jawab Alif sambil menunduk.
"JADI
KALIAN.."
"K-Kita
mau minta maaf pak," Sergah Agam memotong ucapan Pak Salim yang sepertinya
akan meledak.
"Hm....
boleh, asal......"
Alif dan Agam
berpandangan bingung.
"Sebelah
sini..!" Ujar Pak Salim.
Agam melap
dengan cepat sisi yang ditunjuk Pak Salim.
"Baguus..
yang bersih, ya," Ujar Pak Salim seraya menyeruput tehnya.
Agam dan Alif
yang masih mengepel terlihat lelah. Rumah Pak Salim yang guede, harus dipel
oleh dua orang bocah yang belum pernah mengerjakan pekerjaan rumah sekalipun.
selang
setengah jam, keduanya selesai dan menghadap.
"Udah,
pak..," Jawab Alif dengan sepotong lap ditangannya.
"Hmm..,"
Pak Salim memandang sekeliling lantai rumahnya. Jelas - jelas masih kotor
banyak sisi yang terlewat.
Pak Salim
memandang keduanya bergantian. keduanya tampak gugup dan cemas, takut - takut
mereka disekap gara - gara kerjanya yang tak becus. Setidaknya, begitulah pikir
Agam. Tampak noda dan bekas debu menempel di wajah dan baju keduanya.
"Baik..
bagus sekali... Nah, sekarang, ayo, kalian minum dulu,"
"HAH?"
Tanya Alif dan Agam berbarengan.
"Kalian
capek, kan? Ayo, minum dulu! Nih.. saya sudah buatkan dua gelas sirup markisa.
Ayo diminum," Ujar Pak Salim seraya menyerahkan dua gelas bening berisi
sirup pada Agam dan Alif.
Keduanya masih
terbengong - bengong.
"Lho?
Kenapa? Kalian ngga mau?"
"M-Mau
pak!" Sergah keduanya.
"Minum,
dong kalo gitu," Ujar Pak Salim sambil tersenyum.
Alif dan Agam
tersenyum malu dan meminumnya dengan senang.
Matahari turun
dan hari beranjak sore. Agam dan Alif tertawa diperjalanan pulang mereka,
mendiskusikan kejadian yang tak terduga yang baru saja terjadi.
"Denger
gak? Kata Pak Salim, kita boleh dateng kapan aja..," Kata Alif menahan
senyum.
"Iya.
Buat minum sirup markisa kaan?" Tambah Agam.
"Iya
bener banget!"
Keduanya
kembali tertawa.
Diperempatan,
keduanya berpisah dan pulang kerumah mereka masing - masing.
Semenjak hari
itu, hari demi hari Agam belajar da mencoba untuk merubah dirinya.
Di malam
jum'at, Agam dan Alif seringkali pergi ke mushola bersama - sama. Mengaji, dan
duduk bersama bapak - bapak hingga larut malam. Khusus untuk hari minggu, Agam
dan Alif pergi kerumah Pak Salim untuk membantu merapihkan pekarangan rumah Pak
Salim, dan segelas markisa tentunya.
Hal itu terus
berlanjut hingga Agam duduk dibangku kelas 3 SMP, dan Alif 3 SMA, karena sama -
sama sibuk ujian.
Pagi itu, Agam
sedang mencabuti rumput liar dihalamannya. Ujian Nasional baru saja selesai.
Kini, Agam bisa bernafas dengan lega. Tapi, kegiatannya terhenti saat ia
melihat Alif datang dengan sepedanya.
"Hei
Gam!" Sapa Alif yang langsung turun dari sepedanya.
"Alif..
ada apa? Tumben sekali..," Agam tersenyum senang.
"Aku..
sedang bingung, Gam," Bisik Alif.
"Bingung..?
Soal apa?" Tanya Agam.
"Soal..."
Kali ini Alif membisikkannya ketelinga Agam dengan suara kecil.
"Ohahaha..
kalau begitu.. jangan disini. Kita diskusi dikamarku saja," Ajak Agam.
Alif mengikuti
Agam yang masuk kerumahnya.
"Emang,
hadiah buat siapa, Lif?" Tanya Agam samil menyajikan segelas air putih
dihadapan Alif.
"Em..
Buat.. Ibuku,"
"Hah?"
"Buat
Ibuku! Hah-heh-hoh.." Alif menyeruput minunya.
"Buat
ibu? Ibumu ulang tahun?" Tanya Agam.
"Ngga...
itu.. hari ibu.. hari Ibu, Gaam.." Jelas Alif.
"Ohh..
hari Ibu.."
"Kamu
tahu ngga hari Ibu itu apa?" Tanya Alif dengan nada meremehkan.
"Tahu,
lah! Hanya saja.. Aku belum pernah menghadiahi ibu saat hari ibu tiba..,"
Ujar Agam malu.
"Aku
juga.. ini kali pertama aku merencanakan hal ini..," Ucap Alif.
"Aku juga
ingin, Lif. tapi.. uang pun aku tak punya..,"
"Jangan
sedih. Masih ada tahun depan. Kamu kumpulkan saja uangnya dari
sekarang..," Hibur Alif sambil menepuk pundak Agam.
"Iya
juga. Mmm.. Oh iya, jadi, kamu mau kasih apa buat ibumu?" tanya Agam
kembali ke permasalahan.
"Mm..
Gamis?"
"Boleh..,
tapi.., kita kan kampung. Nanti malah terlihat aneh kalau pakai baju glamor
seperti itu..," jawab Agam yang kurang setuju.
"Apa
dong..? Daster?" Tanya Alif.
"Gimana
kalo Daster?" Usul Agam.
"Monyong!
Aku kan usul itu tadi!" Alif menjitak pelan kepala Agam.
"Hehe..
Aku kan belum selesai, Lif. Maksudku.., Daster yang baju tidur gitu.. Nyaman
tuuh," Ujar Agam.
"Iya juga
ya," Alif mengangguk senang.
"Kapan
mau beli?"
"Em...
besok mungkin. Soalnya kan, tinggal dua hari lagi..,"
"Oke deh,
kalo gitu, aku siap antar kamu,"
"Beneran?"
Tanya Alif penuh harap.
"Beneer.."
Jawab Agam mengiyakan.
"Hahaha..
Makasih - makasih. ayo diminum dulu..,"
"Heleh,
wong tuan rumahnya aku!" Agam mencibir, lalu keduanya tertawa.
Agam dan Alif
menyusuri ruko - ruko dipinggir jalan. Mencari pakaian yang sesuai dengan uang
yang dibawa Alif. Setelah berjam - jam menelusuri, keduanya pun menemukan
daster impian yang harganya nanjak sedikit dari uang yang dibawa Alif.
"Berapa,
koh?" Tanya Alif pada seorang pedagang keturunan Tionghoa.
"Selatus
Tujuh lima aja maa.."
"Weeh!
Mahal banget!" Alif memandang kembali kearah daster itu dan berfikir
keras.
"Kuarangin
dong koh.." Tawar Alif.
"Iya nih.
Kita udah jauh jauh nyarinya.." Tambah Agam yang sejak tadi hanya diam.
"Hm.. mau
kulang berapa?"
"Jadi..
seratus lima puluh deh. Gimana?" Ujar Alif yang langsung mengeluarkan
selembar seratus ribuan dan lima puluhan dengan semangat.
"Hee?
Selatus lima puluh..?!"
"I-iya,
koh..." alif menurunkan tangannya. Pasti ditolak lagi. Gumam Alif.
"Selatus
dua lima, gimana?" Ujar Pedagang itu sambil tersenyum, membuat Alif dan
Agam melongo.
"Koh..?"
Agam memegang dahi 'Engkoh', dan membolak balikannya. Normal.
"Haiiya..
Selatus dua lima, lu mau kagak?"
"M-mau
mau mau koh," Dengan senang dan agak heran, Alif menyerahkan uangnya dan
menerima kembaliannya.
"Datang
lagi maa.." Ujar engkoh sambil membungkuk ketika Alif dan Agam pergi
mengayuh sepedanya.
"Lucu
yah," Gumam Agam.
"Hahaha..
ada - ada aja orang..," Balas Alif dengan terkekeh.
Hari Ibu....
Agam memandang
keluar jendela sambil melap piring yang basah.
"Si
Alif.. sukses ngga yaah.." Gumam Agam.
Tiba - tiba
terdengar suara ibunya memanggil dari ruang tengah.
"Iya bu..,"
Agam menghentikan kegiatannya dan menghampiri ibunya.
"Ada apa
bu?" Tanya Agam
"Niih..
ada surat dari sekolah," Ujar ibunya memberikan sepucuk surat, wajahnya
tampak seperti yang menahan senyum.
"Hah?
Surat apa bu? Tagihan, ya?" agam membolak balik surat yang diterimanya.
"Buka,
aja.."
dengan Tidak
dabar, Agam merobek ujung amplop. Matanya membaca dengan teliti, kata demi
kata. Semakin membaca kebawah, alisnya semakin terpaut.
"...
SCHOLARSHIP..." Agam terperangah. ia memandang ibunya dan surat itu bergantian.
"Buu.."
"Iya..?"
Bu Agus menoleh sebentar, dan kemudian memandang kearah sangkar burung.
"Ini
BU!!"
"Ini
apa..?" Tanya Bu Agus yang sedang memberi makan burung Nuri kesayangan
Agam.
"BEASISWAA!!"
Agam sontak memeluk ibunya dan mengangkatnya sambil tertawa senang.
"Beasiswa
bu! beasiswa! Di Jakarta!!"
"Iya
nak.. iiya.." Ibunya tersenyum sambil menahan suaranya yang terdengar
ingin menangis.
Agam terhenti
sejenak.
"Alif!"
"Alif
apa?" Tanya ibunya bingung.
"Alif bu!
Agam harus beritahu Alif soal ini!"
"Beritahulah
dia," Ibunya tersenyum menahan air mata.
"Kamu
tumbuh, nak.." Tanpa disadari, Air matanya jatuh.
Agam tertegun
mengingat masa - masanya kala itu. Ia memandang kesebuah rumah yang
dirindukannya. Seulas senyuman kemudian terukir diwajahnya.
Dengan tak
sabar, Agam berjalan cepat dengan menjinjing koper dan map merah ditangannya.
"Assalamu'alaikum..."
Agam melogok masuk. Melihat sesosok wanita tua yang sedang merajut. Wanita itu
menghentikan merajutnya.
"Wa'alaikumussalaam....."
Perlahan, wanita itu berdiri dan selanjutnya menatap penuh rasa haru.
" Ya
Allah.. AGAM!"
"Ibu,"
Agam memeluk erat ibunya.
"Kenapa
tak kabari ibu dulu, naaak?"
"Agam
ingin buat kejutan untuk ibu..," Ujar Agam melepas pelukannya.
"kejutan..?"
Ibunya mengusap air matanya.
"Iya
bu.." Agam menyerahkan sebuah map.
"Anak ibu
jadi sarjana..,"
Dengan gemetar
ibunya mengambil map merah itu, lalu mendekapnya penuh rasa senang dan bangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar