Kamis, 09 Januari 2014

IBU


Agam berjalan dengan santai menuju rumahnya. Melewati gang teduh yang sempit. matanya memancarkan kerinduan yang amat sangat. Bagai kura - kura yang merindukan cangkangnya. Agam terkagum melihat beberapa rumah dikampungnya telah sedikit-banyak berubah. Akankah rumahku berubah juga? tanyanya pada ditri sendiri. Namun, pandangan Agam teralihkan ketika  lewat didepannya gerombolan anak kecil yang tengah bermain. Dengan jubah dan sebatang kayu sebagai pedangnya. Agam berhenti sejenak dan tertawa melihat tingkah anak - anak itu. Ia tersenyum begitu menyadari, dirinya sama seperti mereka dahulu. Ah, tidak. Pikir Agam.
Agam bukanlah anak kecil yang baik dan patuh. Ia anak yang nakal. Ia sungguh masih ingat jelas..

"AGAM! Kesini kamu, heh!" Teriak Bu Agus, ibunya Agam dengan sebatang sapu yang diacungkan ditangannya.
Agam tak menghiraukan hal itu. Ia terus berlari menjauhi ibunya yang  berdiri di depan teras rumah dan terus teriak. Agam kecil berlari secepatnya. Nafas Bu Agus mengecil dan ia pun menyerah saat Agam menghilang dibalik tikungan.
"Kenapa, Bu? Agam bikin ulah lagi, ya?" Tanya Bu Narsih, tetangganya yang sedang serius menjemur pakaian. Namun, pandangan dan pendengarannya tak pernah luput dari kejadian disekitarnya. Terutama Bu Agus. Menurutnya, buat bahan gosipan.
Bu Agus melirik tak enak lalu tersenyum lembut.
"Ngga. itu tadi, Agam lupa menyisir rambutnya sesudah keramas..." Bu Agus kembali melirik Bu Narsih yang angguk - angguk, namun, ekspresinya sangat menyebalkan. Tak mau berlama - lama dan takut keceplosan bicara, Bu Agus segera pamit masuk kerumahnya.

"Heleh.., padahal udah ketahuan ulahnya," Gumam Bu Narsih dengan sedikit mencibir.

Agam berlari menuju teman - temannya yang menunggunya dipos ronda.
"Gam, cepet, sini! Gimana? Dapet ga?" Tanya seorang anak lelaki yang usianya 2 tahun lebih tua. Ia mendekati Agam diikuti dua orang lainnya.
"Dapet doong.." Jawabnya bangga dan tersenyum. Ia mengeluarkan uang lima ribuan dan memamerkannya didepan muka ketiga temannya.
"sekarang kita mau ngapain nih?" tanya seorang teman Agam yang berkaos merah.
"Kita... kita senang - senang doong.." Ujar Agam mengatakan hal yang biasa diucapkan ayahnya saat berkumpul dengan temnnya.
"AYOO... "
Keempat bocah itu pergi menuju tempat mereka biasa bermain.

Agam sampai dirumahnya. Baru saja ia masuk, ia sudah dikagetkan dengan suara teriakan ibunya. Agam sudah tahu. Pasti ayahnya pulang marah - marah lagi. Biasanya karena dirumah tak ada makanan, atau ayahnya kehabisan uang untuk berjudi.
Agam sudah tahu ia harus bagaimana. Seperti kata ibunya...
"Jika ayah datang, segeralah masuk kekamar. Kunci pintunya, dan jangan mendengarkan,".
Hanya itulah satu - satunya kalimat yang Agam patuhi. 
Agam hendak masuk kekamar. Namun, langkahnya tersekat ketika ia mendengar ayahnya teriak.
"Mana uang yang kuberi kemarin, hah?!"
"Uang?" Pikir Agam. Ia berjalan mendekati dapur dan memasang telinganya dengan rapat.
"Susah payah aku menyisakannya untukmu! Sekarang, makanan tak ada duitpun ludes!" teriak ayahnya lagi. 
Tiba - tiba, Agam teringat denngan uang yang diambilnya pagi tadi.
"Ibu akan bilang dan ayah aku akan dipukul ayah!" Ujar Agam dalam hati. Sekarang ia cemas dan panik. Agam memutar otaknya dan melihat keluar rumah. Sandal. Ah!
Saat itu, Agam berniat kabur dari rumah dan tak akan pulang hingga esok pagi.
Tapi, ketika ia hendak keluar, "Uangnya hilang", terdengar suara ibunya menjawab. Agam tertegun dan menoleh tak percaya kearah dapur.
"APAA?"
"Uangnya hilang" Ibunya kembali mengulang jawabannya.
"Pembohong!"

Waktu terasa membeku.


Agam terbaring lemas dikasur. Terdengar suara rintihan ibunya dari kamar sebelah, yang terus - terusan mengusik kepala Agam. Itu adalah kali pertamanya melihat ibunya begitu tersiksa. Ternyata selama ini, tonjokan, pukulan, dan tamparan, ayahnyalah yang membuat bekas memar dibadan ibunya.
Agam merasa.. Entahlah. Antara benci dan bingung terhadap dirinya dan ayahnya. Tangan Agam terkepal dengan kuatnya hingga ia terlelap.

Pagi itu seperti biasa, Bu Agus bangun pagi - pagi untuk merapihkan rumah dan mencuci baju. Namun ada satu yang bu Agus herankan. Mana Agam?
Biasanya setiap pagi Agam selalu berisik meminta makan. Tapi kali ini, Bu Agus sama sekali tak mendengar suaranya. Atau langkah kakinya sekalipun.
"Agaam..? Gam..?" Panggil Bu Agus. Bu Agus berdiri sambil menengok kekamar dan ruangan lainnya, barangkali Agus ada disitu. Namun, yang dicari tak juga terlihat.
"..Kemana anak itu..?" Gumam Bu Agus. Apa main, ya? Tanyanya dalam hati.

"Agaam!! Tendang yang jauh! Cepaat!" Ujar seorang anak hitam manis berbadan jangkung.
"Okee!" Agam menendang bola plastik didepannya dengan keras, tapi seorang anak berbadan gembul merebut bolanya dan menggiringnya menuju gawang lawan. Gawang Agam.
"Alif, jaga doong! back..! Kamu kan jadi back!" Teriak Agam pada seorang temannya yang berkacamata, Alif, sambil terus waspada.
"Kalo kipernya cebol, sih, masuknya gampang!" Cemooh Anak gembul yang menggiring bola itu. Memang, diantara semua pemain, Agam yang paling kecil. 6 tahun gitu loh..
Dengan sekuat tenaga, anak gembul itu menendang bola hingga melayang tinggi. Melewati gawang, dan...
"AAh!! Jangan kesana..!!" Teriak Agam geram. Kedua tangannya menjenggut rambutnya keras - keras.
"Ahh! Itu..! Masuk ke pekarangan Pak Salim, gimana dong..?!" Ujar Alif panik.
"Yang nendang tadi siapa?" Tanya Agam.
"Si Halim!" Jawab Alif cepat.
Agam, Alif, dan dua orang lainnya celingak - celinguk melihat sekekliling lapang.
"Yang lain pada kemana?" Tanya Agam pada seorang anak laki - laki berkulit putih, Raka, ketika menyadari hanya ada empat orang dilapang. Yang ditanya angkat bahu, "Ngga tahu.." jawab Raka bingung.
"Kita pergi aja sekarang! Mumpung Pak Salimnya belum nyadar. Ayo!" ajak Aris, yang sejak tadi jadi pemain cadangan dan ngga kebagian main sama sekali.
"Ayoo!" Jawab Raka dan Alif setuju.
"Jangan!" Ujar Agam tiba - tiba, menyekat langkah teman - temannya.
"Lho, kenapa Gam?" Tanya Raka bingung. Dari tingkah Agam yang menyebalkan, harusnya Agamlah yang paling setuju untuk melarikan diri.
"Kita.. minta maaf dulu dan ambil bolanya.. baru, kita pergi..," Jawab Agam ragu. Ia sendiri heran, mengapa ia berkata seperti itu.
"Hah? Cari mati?" Tanya Aris kaget.
"Kamu pasti bercanda. Yuk ah, Ris, kita cabut!" Ajak Raka pada Aris dan dijawab anggukan mantap.
Sementara Alif masih berdiam memandang Agam.
"Kalo kamu mau pergi.., silahkan aja. Aku... tetap akan minta maaf..," Jawab Agam sambil tertunduk. Ia harus melakukan ini. Harus. Ini adalah tantangan baginya untuk bisa berubah.
Agam terdiam menunggu Alif. Tapi, Alif  tak kunjung menjawab. Memang susah kalau mengajak orang lain untuk berbuat benar. Ya.., Alif salah satu anak yang juga bandel seperti Agam, tapi umurnya tiga tahun lebih tua dari Agam.
Agam menghela nafasnya.
"Aku.. mau kerumah Pak Salim dulu," Agam berbalik dan berjalan pelan, tapi seseorang menahan bahunya.
Agam menoleh dan kemudian senyum mengembang diwajahnya.
"Berani berbuat, berani bertanggung jawab". Alif tersenyum simpul, seraya mengulang  kalimat yang pernah diucapkan guru SD nya.

"Assalamu'alaikum.. Pak Saaliim.." Alif mengetuk pintu rumah Pak Salim sebanyak tiga kali. Dan mengulanginya.
"..Ngga ada ya?" Tanya Agam sambil menengadah, memandang Alif.
"Iya.. kayaknya ngga ada," jawab Alif. Keduanya menghela nafas kecewa.
Tiba - tiba terdengar kenop pintu dibuka, membuat keduanya terperanjat.
"Apa?" Tanya Pak Salim dengan suaranya yang berat.
Alif memandang Agam ragu. Agam membalas pandangan Alif dan mengangguk pelan.
"Ada Apa?" Tanya Pak Salim lagi, menyadarkan Alif dan Agam.
"K-Kita ngga sengaja.. waktu main bola.. terus nendang.. bolanya..."
"masuk pekarangan saya?!"
"I-iya pak.." Jawab Alif sambil menunduk.
"JADI KALIAN.."
"K-Kita mau minta maaf pak," Sergah Agam memotong ucapan Pak Salim yang sepertinya akan meledak.
"Hm.... boleh, asal......"
Alif dan Agam berpandangan bingung.

"Sebelah sini..!" Ujar Pak Salim.
Agam melap dengan cepat sisi yang ditunjuk Pak Salim.
"Baguus.. yang bersih, ya," Ujar Pak Salim seraya menyeruput tehnya.
Agam dan Alif yang masih mengepel terlihat lelah. Rumah Pak Salim yang guede, harus dipel oleh dua orang bocah yang belum pernah mengerjakan pekerjaan rumah sekalipun.
selang setengah jam, keduanya selesai dan menghadap.
"Udah, pak..," Jawab Alif dengan sepotong lap ditangannya.
"Hmm..," Pak Salim memandang sekeliling lantai rumahnya. Jelas - jelas masih kotor banyak sisi yang terlewat.
Pak Salim memandang keduanya bergantian. keduanya tampak gugup dan cemas, takut - takut mereka disekap gara - gara kerjanya yang tak becus. Setidaknya, begitulah pikir Agam. Tampak noda dan bekas debu menempel di wajah dan baju keduanya.
"Baik.. bagus sekali... Nah, sekarang, ayo, kalian minum dulu,"
"HAH?" Tanya Alif dan Agam berbarengan.
"Kalian capek, kan? Ayo, minum dulu! Nih.. saya sudah buatkan dua gelas sirup markisa. Ayo diminum," Ujar Pak Salim seraya menyerahkan dua gelas bening berisi sirup pada Agam dan Alif.
Keduanya masih terbengong - bengong.
"Lho? Kenapa? Kalian ngga mau?"
"M-Mau pak!" Sergah keduanya.
"Minum, dong kalo gitu," Ujar Pak Salim sambil tersenyum.
Alif dan Agam tersenyum malu dan meminumnya dengan senang.

Matahari turun dan hari beranjak sore. Agam dan Alif tertawa diperjalanan pulang mereka, mendiskusikan kejadian yang tak terduga yang baru saja terjadi.
"Denger gak? Kata Pak Salim, kita boleh dateng kapan aja..," Kata Alif menahan senyum.
"Iya. Buat minum sirup markisa kaan?" Tambah Agam.
"Iya bener banget!"
Keduanya kembali tertawa.
Diperempatan, keduanya berpisah dan pulang kerumah mereka masing - masing.

Semenjak hari itu, hari demi hari Agam belajar da mencoba untuk merubah dirinya.
Di malam jum'at, Agam dan Alif seringkali pergi ke mushola bersama - sama. Mengaji, dan duduk bersama bapak - bapak hingga larut malam. Khusus untuk hari minggu, Agam dan Alif pergi kerumah Pak Salim untuk membantu merapihkan pekarangan rumah Pak Salim, dan segelas markisa tentunya.
Hal itu terus berlanjut hingga Agam duduk dibangku kelas 3 SMP, dan Alif 3 SMA, karena sama - sama sibuk ujian.

Pagi itu, Agam sedang mencabuti rumput liar dihalamannya. Ujian Nasional baru saja selesai. Kini, Agam bisa bernafas dengan lega. Tapi, kegiatannya terhenti saat ia melihat Alif datang dengan sepedanya.
"Hei Gam!" Sapa Alif yang langsung turun dari sepedanya.
"Alif.. ada apa? Tumben sekali..," Agam tersenyum senang.
"Aku.. sedang bingung, Gam," Bisik Alif.
"Bingung..? Soal apa?" Tanya Agam.
"Soal..." Kali ini Alif membisikkannya ketelinga Agam dengan suara kecil.
"Ohahaha.. kalau begitu.. jangan disini. Kita diskusi dikamarku saja," Ajak Agam.
Alif mengikuti Agam yang masuk kerumahnya.

"Emang, hadiah buat siapa, Lif?" Tanya Agam samil menyajikan segelas air putih dihadapan Alif.
"Em.. Buat.. Ibuku,"
"Hah?"
"Buat Ibuku! Hah-heh-hoh.." Alif menyeruput minunya.
"Buat ibu? Ibumu ulang tahun?" Tanya Agam.
"Ngga... itu.. hari ibu.. hari Ibu, Gaam.." Jelas Alif.
"Ohh.. hari Ibu.."
"Kamu tahu ngga hari Ibu itu apa?" Tanya Alif dengan nada meremehkan.
"Tahu, lah! Hanya saja.. Aku belum pernah menghadiahi ibu saat hari ibu tiba..," Ujar Agam malu.
"Aku juga.. ini kali pertama aku merencanakan hal ini..," Ucap Alif.
"Aku juga ingin, Lif. tapi.. uang pun aku tak punya..,"
"Jangan sedih. Masih ada tahun depan. Kamu kumpulkan saja uangnya dari sekarang..," Hibur Alif sambil menepuk pundak Agam.
"Iya juga. Mmm.. Oh iya, jadi, kamu mau kasih apa buat ibumu?" tanya Agam kembali ke permasalahan.
"Mm.. Gamis?"
"Boleh.., tapi.., kita kan kampung. Nanti malah terlihat aneh kalau pakai baju glamor seperti itu..," jawab Agam yang kurang setuju.
"Apa dong..? Daster?" Tanya Alif.
"Gimana kalo Daster?" Usul Agam.
"Monyong! Aku kan usul itu tadi!" Alif menjitak pelan kepala Agam.
"Hehe.. Aku kan belum selesai, Lif. Maksudku.., Daster yang baju tidur gitu.. Nyaman tuuh," Ujar Agam.
"Iya juga ya," Alif mengangguk senang.
"Kapan mau beli?"
"Em... besok mungkin. Soalnya kan, tinggal dua hari lagi..,"
"Oke deh, kalo gitu, aku siap antar kamu,"
"Beneran?" Tanya Alif penuh harap.
"Beneer.." Jawab Agam mengiyakan.
"Hahaha.. Makasih - makasih. ayo diminum dulu..,"
"Heleh, wong tuan rumahnya aku!" Agam mencibir, lalu keduanya tertawa.


Agam dan Alif menyusuri ruko - ruko dipinggir jalan. Mencari pakaian yang sesuai dengan uang yang dibawa Alif. Setelah berjam - jam menelusuri, keduanya pun menemukan daster impian yang harganya nanjak sedikit dari uang yang dibawa Alif.
"Berapa, koh?" Tanya Alif pada seorang pedagang keturunan Tionghoa.
"Selatus Tujuh lima aja maa.."
"Weeh! Mahal banget!" Alif memandang kembali kearah daster itu dan berfikir keras.
"Kuarangin dong koh.." Tawar Alif.
"Iya nih. Kita udah jauh jauh nyarinya.." Tambah Agam yang sejak tadi hanya diam.
"Hm.. mau kulang berapa?"
"Jadi.. seratus lima puluh deh. Gimana?" Ujar Alif yang langsung mengeluarkan selembar seratus ribuan dan lima puluhan dengan semangat.
"Hee? Selatus lima puluh..?!"
"I-iya, koh..." alif menurunkan tangannya. Pasti ditolak lagi. Gumam Alif.
"Selatus dua lima, gimana?" Ujar Pedagang itu sambil tersenyum, membuat Alif dan Agam melongo.
"Koh..?" Agam memegang dahi 'Engkoh', dan membolak balikannya. Normal.
"Haiiya.. Selatus dua lima, lu mau kagak?"
"M-mau mau mau koh," Dengan senang dan agak heran, Alif menyerahkan uangnya dan menerima kembaliannya.
"Datang lagi maa.." Ujar engkoh sambil membungkuk ketika Alif dan Agam pergi mengayuh sepedanya.
"Lucu yah," Gumam Agam.
"Hahaha.. ada - ada aja orang..," Balas Alif dengan terkekeh.

Hari Ibu....

Agam memandang keluar jendela sambil melap piring yang basah.
"Si Alif.. sukses ngga yaah.." Gumam Agam.
Tiba - tiba terdengar suara ibunya memanggil dari ruang tengah.
"Iya bu..," Agam menghentikan kegiatannya dan menghampiri ibunya.
"Ada apa bu?" Tanya Agam
"Niih.. ada surat dari sekolah," Ujar ibunya memberikan sepucuk surat, wajahnya tampak seperti yang menahan senyum.
"Hah? Surat apa bu? Tagihan, ya?" agam membolak balik surat yang diterimanya.
"Buka, aja.."
dengan Tidak dabar, Agam merobek ujung amplop. Matanya membaca dengan teliti, kata demi kata. Semakin membaca kebawah, alisnya semakin terpaut.
"... SCHOLARSHIP..." Agam terperangah. ia memandang ibunya dan surat itu bergantian.
"Buu.."
"Iya..?" Bu Agus menoleh sebentar, dan kemudian memandang kearah sangkar burung.
"Ini BU!!"
"Ini apa..?" Tanya Bu Agus yang sedang memberi makan burung Nuri kesayangan Agam.
"BEASISWAA!!" Agam sontak memeluk ibunya dan mengangkatnya sambil tertawa senang.
"Beasiswa bu! beasiswa! Di Jakarta!!"
"Iya nak.. iiya.." Ibunya tersenyum sambil menahan suaranya yang terdengar ingin menangis.
Agam terhenti sejenak.
"Alif!"
"Alif apa?" Tanya ibunya bingung.
"Alif bu! Agam harus beritahu Alif soal ini!"
"Beritahulah dia," Ibunya tersenyum menahan air mata.
"Kamu tumbuh, nak.." Tanpa disadari, Air matanya jatuh.


Agam tertegun mengingat masa - masanya kala itu. Ia memandang kesebuah rumah yang dirindukannya. Seulas senyuman kemudian terukir diwajahnya.
Dengan tak sabar, Agam berjalan cepat dengan menjinjing koper dan map merah ditangannya.
"Assalamu'alaikum..." Agam melogok masuk. Melihat sesosok wanita tua yang sedang merajut. Wanita itu menghentikan merajutnya.
"Wa'alaikumussalaam....." Perlahan, wanita itu berdiri dan selanjutnya menatap penuh rasa haru.
" Ya Allah.. AGAM!"
"Ibu," Agam memeluk erat ibunya.
"Kenapa tak kabari ibu dulu, naaak?"
"Agam ingin buat kejutan untuk ibu..," Ujar Agam melepas pelukannya.
"kejutan..?" Ibunya mengusap air matanya.
"Iya bu.." Agam menyerahkan sebuah map.
"Anak ibu jadi sarjana..,"
Dengan gemetar ibunya mengambil map merah itu, lalu mendekapnya penuh rasa senang dan bangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar