Sedikit cerita oneshot untuk jadi bacaan diwaktu luang.. ya... kira kira gitulaah..
SESALKU
19 September 2010
Aku mengalami hal yang tak diduga duga. Tepat di hari itu, aku kehilangan
seluruh anggota keluargaku. Sedih, terpuruk, putus asa yang kurasa. Selama
hampir seminggu tidak mau aku makan atau minum. Aku hanya bisa melamun. Aku
kembali membaca Koran yang memberitakan tewasnya keluargaku. Aku depresi berat.
Hampir saja aku gila. Untung saja nenekku segera mengobati luka hatiku yang
mendalam. Saat itu, aku merasa Tuhan tidak adil. Kenapa?? Kenapa harus ayah
ibuku? Kakakku? Adikku? Salah apa mereka? Aku hanya bisa terdiam memikirkan itu
semua. Apa ini semua pelajaran dari Tuhan untukku? Tapi mengapa harus begini?! Aku diam sendirian. Dalam kesendirian itu aku kembali mengenang
masa masa indah yang kulalui dengan mereka…
Sehari
sebelum kecelakaan
Pagi
itu aku sedang melihat – lihat foto album ketika aku masih playgroup. Aku
tertawa pelan melihat culunnya aku saat itu. Tiba – tiba Radit, adikku yang
masih berumur 2 tahun merebut album foto itu dari genggamanku.
"Hei!", cegahku.
"Pinjam sebental!", ia
meminta.
"Iya, nanti dulu"
"Ingin sekalang!"
Lalu..Brek!! Albumnya sobek dan
terbelah menjadi dua. Aku terkejut dan secara reflek aku membentak Radit.
"Kamu!!! Lihat! Jadi sobek
'kan?!
Radit terlihat ketakutan. Aku
terus memojokkannya.
"Mau ngga digantiin? Ngggak
'kan? Makannya diem! Udah tau lagi dipake main rebut aja! Sobek nih!"
"Maap"
"Maaf maaf aja kamu bisanya. Sana!!" aku
mengusir adikku dari kamar.
Dia keluar sambil sesenggukan.
Wajahnya merah. Rasanya iba aku melihat dia. Tapi mau bagaimana lagi? Sudah
terlanjur aku membentaknya. Gengsi rasanya meminta maaf. Disitu aku berfikir.
Kenapa aku musti minta maaf? Salah salah dia betul 'kan?.
Malamnya Radit dan Kak Gia
bercanda ria di ruang tengah. Aku mendekati Radit.
"Radiiit" aku mencubit
gemas pipinya. Dia menendang tanganku.
"Aduuh!!" aku kira dia
sedang bercanda. Aku mencubitnya lagi. Dia menendang lagi.
"Sana!"
Aku manyun dan mengadu pada ibu.
"Bu, lihat tingkahnya si
Radit. Nyebelin"
Aku duduk di samping ibu.
"Salah siapa"
"Apanya?"
"Emang ibu ngga denger? Kamu
ngebentak Raditkan?"
"Itu salah..Rad"
"Dia masih kecil, belum
ngerti apa – apa"
"Gea bentak dikit"
"Memangnya ibu nggak denger?
Suara kamu itu keras. Kedengeran sampe bawah. Masa anak kecil di kasih nada
kaya gitu? Kalau trauma gimana?"
"tapi.."
"kalau dia trauma dan kenapa
– kenapa mau tanggung jawab?"
"Ibu kenapa sih?! Dari tadi
Radit radiiit terus yang di bela. Yang salah kan bukan Cuma Gea!!"
Bentakku.
"Kalau marahin kira – kira,
dong!" kak Gia ikut nimbrung.
"Kakak diem aja deh! Ngga tau
kejadiannya jangan ikut - ikutan!"
Aku nada tinggi.
"Siiapa biilang?". Kak
Gia menantang.
Aku diam.
"Cuma foto album ajah 'kan?
Ngga sampe berdarah" Ledeknya.
"Gia, sudah!" Ayah
melerai.
"Oke daddy", katanya
dengan nada meledek.
Ayah memandangku.
"Gea, ibu sama kak Gia betul.
Radit itu masih kecil.masa udah dibentak?"
Ayah terus saja menasehati ku.
Sekali saja cukup kan? Kenapa aku di pojokkan begini?akhirnya Lama kelamaan telingaku panas juga.
"Iya – iya!!! Gea salah.
Sekarang gea tau kalo radit masih kecil dan Ngga salah. Puas?!" Aku masuk
ke kamarku dengan membanting pintu.
"Bisa ngga pelan – pelan?
Kalo rusak mau gantiin?" sayup – sayup terdengar suara kak Gia.
"IYA IYA!".
Aku
melihat album foto yang sobek itu. Kubanting dan ku robek foto – foto itu. Ku
pukul meja belajarku. Kuinjak bingkai foto aku dan keluargaku. Kuacak – acak
ranjang tidurku. Ku obrak abrik lemari pakaianku. Lalu aku menangis
sesenggukan. Aku merinkuk di pojok lemari degan selimutku. Sambil mengumpat
dalam hati. Ini salah si Radit! Si Gia! Ibu juga sama. Ayah juga! Semuannya
sama aja! Sialan!! Mati aja sana!! Ngga mau liat muka kalian semua. Bikin enek!
Bikin jijik!!! Tanpa terasa aku pun terlelap.
Paginya
ibu mengetuk pintu kamarku.
"Gea, kamu cepat siap – siap
gih. Kita kan mau pergi jalan – jalan. " suara ibu lembut.
Aku melonjak. Benar juga, sekarang
aku akan bertamasya dengan keluargaku. Zreng!! Tiba – tiba aku teringat
kejadian kemarin malam, dengan keadaan kamar yang berantakan seperti ini, aku terdiam. Rupanya amarah meluap dari
diriku belum juga sirna.
"Gea ngga ikut", kata –
kata itu keluar dari mulutku begitu saja.
"ko? Hm.., iya deh. Kalau
begitu ibu biar suruh nenek nemenin Gea disini. "terdengar suara langkah
kaki ibu turun kebawah.
"Gea ngga mau ikut
katanya" Ibu terdengar sedang mengobrol dengan Ayah dan kak Gia. Aku
menguping pembicaraan mereka walau hanya terdengar sayup – sayup.
"rudet banget sih tuh
anak," kak Gia kesal. Aku mendengarnya menjadi panas.
Aku memang rudet, bawel, jahat ,
manja dan banyak lagi kejelekanku yang lainnya. Tapi apa dayaku? Saat itu aku hanya anak yang pikirannya
sedang kacau.
30 menit aku menunggu, nenek pun
datang. Dan keluargaku yang lain sudah lama berangkat. Aku keluar kamar. Pengap
yang kurasa selama di kamar. Nenek terlihat sedang melihat pemandangan keluar
jendela.
"Nenek?", aku
menyapanya.
Nenek berbalik.
"Gea? Gimana kabar kamu
nak?"
" Baik." Aku tersenyum.
Nenek duduk di atas shofa. Aku mengikuti
dan duduk di sampingnya.
"kenapa ngga ikut jalan –
jalan?"
"Karena.. sesuatu",
jawabku ragu.
"Sesuatu apa?" Tanya
nenek sambil menyeruput teh manisnya.
"Ya.. itu! Kemarin Gea di
marahin habis – habisan. Gara - gara Gea marah
sama Radit.."
"Marah kenapa?"
"Ya.. jelas dong! Gea lagi
liat – liat album kenangan masa tk Gea, eh.., Radit malah ngerebut. Sobek deh.
Siapa yang ngga marah coba.."
"Terus.., apa kata ibu?"
"Katanya ya.. gitu deh. Radit
masih kecil belum ngerti blablabla. Pokoknya nye-be-lin."
"Kalau begitu, tadi ada
ucapan maaf dari ibu, ayah, kak Gia, sama Radit."
"Hah?"
"Iya"
"Bohong ah"
"Kenapa bohong? Lha emang
bener kok"
"masa sih?"
Nenek mengangguk pelan.
" Sekarang, giliran Gea yang
minta maaf" Lanjut nenek.
"Kenapa harus?" Aku
cemberut.
"Tentu harus. Waktu Gea berumur 2 tahun, Gea mecahin
pot bunga kesayangan kak Gia. Tapi kakakmu ngga marah. Kak Gia hanya tersenyum.
Padahal tadinya dia mau marah lho"
.Aku diam dan merenung.
"Gea minta maaf ya"
"Hm.., iyalah", aku
menyerah.
Jam
3.00 aku dan nenek menjemput yang lain di terminal bus. Aku dan nenek menunggu.
Lalu, datanglah bus yang diitumpangi keluargaku.
"Nek, itu kak Gia!!".
Aku melambai kak Gia membalas.
"Iya, berarti yang lain juga
ada di dalam.
Bus berbelok dengan mulusnya. Tiba
– tiba sebuah bus datang dari arah berlawanan. Tragedi itu terjadi begitu
cepat. Saat itu aku kaget tak percaya. Iyakah? Benarkah? Yang tertabrak itu
adalah keluargaku? Saat api meledak dan berhembus. Aku menjerit sambil teriak.
"IBU!!!!"
Asap api dari bus itu membuat
hatiku semakin panas. Aku menangis dan ingin rasanya berlari. Tapi seseorang
menahanku agar tetap diam. Aku sudah tidak tahan ingin menjumpaiyang lain. Aku
berlari dan menepis tangan yang memegangi ku. Aku yakin keluargaku masih di
dalam. Tiba – tiba sebuah batu kecil menghalangiku dan aku terjerembab.
Mungkinkah batu itu menahanku? Saat itu bus kembali meledak. Aku hanya bisa
melihat bus itu meledak dari jauh. Si jago merah telah membakar semuanya tanpa
sisa. Aku menangis sambil menjerit –
jerit.
"IBU!!KAKAK!!AYAH!RADIIIIIT!!!"
"HeuheuheuAAAAAAA!!!"
Aku tidak percaya mereka pergi begitu cepat.
Aku kehilangan keluargaku tanpa bisa meminta maaf pada semuanya. Aku telah
menyia – nyiakan kesempatan hidup yang diberikan oleh Tuhan padaku. Dengan
entengnya aku membuang waktu yang tuhan
berikan. Membantah perintah ibu,
bertengar dengan kaka, memerahi adik, marah pada Ayah. Yang lebih parahnya,
kelancanganku pada mereka yang menyayangiku. Sesal tiada tara yang kurasa.
Ingin rasanya kuputar kembali waktu dengan sendirinya. Tapi aku tidak akan
bisa….aku takan bisa.
Epilog
Akhirnya, aku ihklaskan semuanya. Saat radit, kak Gia, ibu, lalu ayah
masuk ke liang lahat. Tempat yang gelap. Penuh cacing dan hewan lainnya yang
menurutku menjijikkan. Aku berfikir : Makan apa mereka disana? Apakah ada
selimut? Apakah ada lampu? Ada tv? Pertanyaan itu menjadi tanda Tanya besar di
diriku. Selesai berdo'a, saat yang lain telah pulang, aku diam beberapa saat
ditemani nenek. Aku hanya bisa memandang sedih kepusara ibu dan semuanya. Aku
menyadari mereka telah pergi. Tidak kulihat mereka bawa makanan, selimut,
lampu, apalagi tv. Yang kulihat, hanya raga bebalut kain kafan yang mereka bawa
kesana. Berarti disana sangatlah sepi, gelap dan sunyi.
Aku berhenti menyesali segalanya.
Sekarang mereka disana memikirkan hidup mereka yang tak ada kesenangan. Takkan
mungkin mereka akan ingat padaku. Aku bangkit dan pulang sambil memandang ke
makam mereka semua. Ya.. mereka telah pergi.. pergi untuk selamanya.
Selamat tinggal..
pada semua..
berpiah kita selamanya..
Kita tak sama..
Nasib di sana..
Baikkah atau sebaliknya..(Rabbani
)
Keren keren ceritanya bikin terharu
BalasHapusMakasih.. :'D keep reading ya.. hahaha.. itu cerita waktu Smp kelas 7.. gatau kelas 6 sd.. ya kalo ga salah
BalasHapus