Selasa, 07 Januari 2014

Sesalku


Sedikit cerita oneshot untuk jadi bacaan diwaktu luang.. ya... kira kira gitulaah..

SESALKU
19  September 2010
            Aku mengalami hal yang tak diduga duga. Tepat di hari itu, aku kehilangan seluruh anggota keluargaku. Sedih, terpuruk, putus asa yang kurasa. Selama hampir seminggu tidak mau aku makan atau minum. Aku hanya bisa melamun. Aku kembali membaca Koran yang memberitakan tewasnya keluargaku. Aku depresi berat. Hampir saja aku gila. Untung saja nenekku segera mengobati luka hatiku yang mendalam. Saat itu, aku merasa Tuhan tidak adil. Kenapa?? Kenapa harus ayah ibuku? Kakakku? Adikku? Salah apa mereka? Aku hanya bisa terdiam memikirkan itu semua. Apa ini semua pelajaran dari Tuhan untukku? Tapi mengapa harus begini?! Aku diam sendirian.  Dalam kesendirian itu aku kembali mengenang masa masa indah yang kulalui dengan mereka…


Sehari sebelum kecelakaan
                Pagi itu aku sedang melihat – lihat foto album ketika aku masih playgroup. Aku tertawa pelan melihat culunnya aku saat itu. Tiba – tiba Radit, adikku yang masih berumur 2 tahun merebut album foto itu dari genggamanku.
"Hei!", cegahku.
"Pinjam sebental!", ia meminta.
"Iya, nanti dulu"
"Ingin sekalang!"
Lalu..Brek!! Albumnya sobek dan terbelah menjadi dua. Aku terkejut dan secara reflek aku membentak Radit.
"Kamu!!! Lihat! Jadi sobek 'kan?!
Radit terlihat ketakutan. Aku terus memojokkannya.
"Mau ngga digantiin? Ngggak 'kan? Makannya diem! Udah tau lagi dipake main rebut  aja! Sobek nih!"
"Maap"
"Maaf  maaf aja kamu bisanya. Sana!!" aku mengusir adikku dari kamar.
Dia keluar sambil sesenggukan. Wajahnya merah. Rasanya iba aku melihat dia. Tapi mau bagaimana lagi? Sudah terlanjur aku membentaknya. Gengsi rasanya meminta maaf. Disitu aku berfikir. Kenapa aku musti minta maaf? Salah salah dia betul 'kan?.
Malamnya Radit dan Kak Gia bercanda ria di ruang tengah. Aku mendekati Radit.
"Radiiit" aku mencubit gemas pipinya. Dia menendang tanganku.
"Aduuh!!" aku kira dia sedang bercanda. Aku mencubitnya lagi. Dia menendang lagi.
"Sana!"
Aku manyun dan mengadu pada ibu.
"Bu, lihat tingkahnya si Radit. Nyebelin"
Aku duduk di samping ibu.
"Salah siapa"
"Apanya?"
"Emang ibu ngga denger? Kamu ngebentak Raditkan?"
"Itu salah..Rad"
"Dia masih kecil, belum ngerti apa – apa"
"Gea bentak dikit"
"Memangnya ibu nggak denger? Suara kamu itu keras. Kedengeran sampe bawah. Masa anak kecil di kasih nada kaya gitu? Kalau trauma gimana?"
"tapi.."
"kalau dia trauma dan kenapa – kenapa mau tanggung  jawab?"
"Ibu kenapa sih?! Dari tadi Radit radiiit terus yang di bela. Yang salah kan bukan Cuma Gea!!" Bentakku.
"Kalau marahin kira – kira, dong!" kak Gia ikut nimbrung.
"Kakak diem aja deh! Ngga tau kejadiannya jangan ikut -  ikutan!" Aku nada tinggi.
"Siiapa biilang?". Kak Gia menantang.
Aku diam.
"Cuma foto album ajah 'kan? Ngga sampe berdarah" Ledeknya.
"Gia, sudah!" Ayah melerai.
"Oke daddy", katanya dengan nada meledek.
Ayah memandangku.
"Gea, ibu sama kak Gia betul. Radit itu masih kecil.masa udah dibentak?"
Ayah terus saja menasehati ku. Sekali saja cukup kan? Kenapa aku di pojokkan begini?akhirnya  Lama kelamaan telingaku panas juga.
"Iya – iya!!! Gea salah. Sekarang gea tau kalo radit masih kecil dan Ngga salah. Puas?!" Aku masuk ke kamarku dengan membanting pintu.
"Bisa ngga pelan – pelan? Kalo rusak mau gantiin?" sayup – sayup terdengar suara kak Gia.
"IYA IYA!".
                Aku melihat album foto yang sobek itu. Kubanting dan ku robek foto – foto itu. Ku pukul meja belajarku. Kuinjak bingkai foto aku dan keluargaku. Kuacak – acak ranjang tidurku. Ku obrak abrik lemari pakaianku. Lalu aku menangis sesenggukan. Aku merinkuk di pojok lemari degan selimutku. Sambil mengumpat dalam hati. Ini salah si Radit! Si Gia! Ibu juga sama. Ayah juga! Semuannya sama aja! Sialan!! Mati aja sana!! Ngga mau liat muka kalian semua. Bikin enek! Bikin jijik!!! Tanpa terasa aku pun terlelap. 
                Paginya ibu mengetuk pintu kamarku.
"Gea, kamu cepat siap – siap gih. Kita kan mau pergi jalan – jalan. " suara ibu lembut.
Aku melonjak. Benar juga, sekarang aku akan bertamasya dengan keluargaku. Zreng!! Tiba – tiba aku teringat kejadian kemarin malam, dengan keadaan kamar yang berantakan seperti ini,  aku terdiam. Rupanya amarah meluap dari diriku belum juga sirna.
"Gea ngga ikut", kata – kata itu keluar dari mulutku begitu saja.
"ko? Hm.., iya deh. Kalau begitu ibu biar suruh nenek nemenin Gea disini. "terdengar suara langkah kaki ibu turun kebawah.
"Gea ngga mau ikut katanya" Ibu terdengar sedang mengobrol dengan Ayah dan kak Gia. Aku menguping pembicaraan mereka walau hanya terdengar sayup – sayup.
"rudet banget sih tuh anak," kak Gia kesal. Aku mendengarnya menjadi panas.
Aku memang rudet, bawel, jahat , manja dan banyak lagi kejelekanku yang lainnya. Tapi apa dayaku?  Saat itu aku hanya anak yang pikirannya sedang kacau.
30 menit aku menunggu, nenek pun datang. Dan keluargaku yang lain sudah lama berangkat. Aku keluar kamar. Pengap yang kurasa selama di kamar. Nenek terlihat sedang melihat pemandangan keluar jendela.
"Nenek?", aku menyapanya.
Nenek berbalik.
"Gea? Gimana kabar kamu nak?"
" Baik." Aku tersenyum.
Nenek duduk di atas shofa. Aku mengikuti dan duduk di sampingnya.
"kenapa ngga ikut jalan – jalan?"
"Karena.. sesuatu", jawabku ragu.
"Sesuatu apa?" Tanya nenek sambil menyeruput teh manisnya.
"Ya.. itu! Kemarin Gea di marahin habis – habisan. Gara - gara Gea marah  sama Radit.."
"Marah kenapa?"
"Ya.. jelas dong! Gea lagi liat – liat album kenangan masa tk Gea, eh.., Radit malah ngerebut. Sobek deh. Siapa yang  ngga marah coba.."
"Terus.., apa kata ibu?"
"Katanya ya.. gitu deh. Radit masih kecil belum ngerti blablabla. Pokoknya nye-be-lin."
"Kalau begitu, tadi ada ucapan maaf dari ibu, ayah, kak Gia, sama Radit."
"Hah?"
"Iya"
"Bohong ah"
"Kenapa bohong? Lha emang bener kok"
"masa sih?"
Nenek mengangguk pelan.
" Sekarang, giliran Gea yang minta maaf" Lanjut nenek.
"Kenapa harus?" Aku cemberut.
"Tentu  harus. Waktu Gea berumur 2 tahun, Gea mecahin pot bunga kesayangan kak Gia. Tapi kakakmu ngga marah. Kak Gia hanya tersenyum. Padahal tadinya dia mau marah lho"
.Aku diam dan merenung.
"Gea minta maaf ya"
"Hm.., iyalah", aku menyerah.
                Jam 3.00 aku dan nenek menjemput yang lain di terminal bus. Aku dan nenek menunggu. Lalu, datanglah bus yang diitumpangi keluargaku.
"Nek, itu kak Gia!!". Aku melambai kak Gia membalas.
"Iya, berarti yang lain juga ada di dalam.
Bus berbelok dengan mulusnya. Tiba – tiba sebuah bus datang dari arah berlawanan. Tragedi itu terjadi begitu cepat. Saat itu aku kaget tak percaya. Iyakah? Benarkah? Yang tertabrak itu adalah keluargaku? Saat api meledak dan berhembus. Aku menjerit sambil teriak.
"IBU!!!!"
Asap api dari bus itu membuat hatiku semakin panas. Aku menangis dan ingin rasanya berlari. Tapi seseorang menahanku agar tetap diam. Aku sudah tidak tahan ingin menjumpaiyang lain. Aku berlari dan menepis tangan yang memegangi ku. Aku yakin keluargaku masih di dalam. Tiba – tiba sebuah batu kecil menghalangiku dan aku terjerembab. Mungkinkah batu itu menahanku? Saat itu bus kembali meledak. Aku hanya bisa melihat bus itu meledak dari jauh. Si jago merah telah membakar semuanya tanpa sisa.  Aku menangis sambil menjerit – jerit.
"IBU!!KAKAK!!AYAH!RADIIIIIT!!!"
"HeuheuheuAAAAAAA!!!"
 Aku tidak percaya mereka pergi begitu cepat. Aku kehilangan keluargaku tanpa bisa meminta maaf pada semuanya. Aku telah menyia – nyiakan kesempatan hidup yang diberikan oleh Tuhan padaku. Dengan entengnya aku membuang waktu  yang tuhan berikan.  Membantah perintah ibu, bertengar dengan kaka, memerahi adik, marah pada Ayah. Yang lebih parahnya, kelancanganku pada mereka yang menyayangiku. Sesal tiada tara yang kurasa. Ingin rasanya kuputar kembali waktu dengan sendirinya. Tapi aku tidak akan bisa….aku takan bisa.
Epilog
            Akhirnya, aku ihklaskan semuanya. Saat radit, kak Gia, ibu, lalu ayah masuk ke liang lahat. Tempat yang gelap. Penuh cacing dan hewan lainnya yang menurutku menjijikkan. Aku berfikir : Makan apa mereka disana? Apakah ada selimut? Apakah ada lampu? Ada tv? Pertanyaan itu menjadi tanda Tanya besar di diriku. Selesai berdo'a, saat yang lain telah pulang, aku diam beberapa saat ditemani nenek. Aku hanya bisa memandang sedih kepusara ibu dan semuanya. Aku menyadari mereka telah pergi. Tidak kulihat mereka bawa makanan, selimut, lampu, apalagi tv. Yang kulihat, hanya raga bebalut kain kafan yang mereka bawa kesana. Berarti disana sangatlah sepi, gelap dan sunyi.
Aku berhenti menyesali segalanya. Sekarang mereka disana memikirkan hidup mereka yang tak ada kesenangan. Takkan mungkin mereka akan ingat padaku. Aku bangkit dan pulang sambil memandang ke makam mereka semua. Ya.. mereka telah pergi.. pergi untuk selamanya.

Selamat tinggal..
pada semua..
berpiah kita selamanya..
Kita tak sama..
Nasib di sana..
Baikkah atau sebaliknya..(Rabbani )

2 komentar:

  1. Makasih.. :'D keep reading ya.. hahaha.. itu cerita waktu Smp kelas 7.. gatau kelas 6 sd.. ya kalo ga salah

    BalasHapus